Categories: KBMN 28

Mengenal Dunia Pantun

Flyer pertemuan ke 13, jam 19.00-21.00 WIB

Makan nasi pake singkong

Duduk beralaskan koran bekas

Mana mungkin kamu sokong

Dana kantong sudah pangkas

 

Aku rindu kamu sanak

Malu tau kamu cuek

Bukan aku tak mau sua

Rutin aku kini  jadi dua

Kira-kira demikianlah pantun awalku sebelum mulai membagikan materi KBMN 28 pertemuan ke 13, dengan moderator sekaligus penulis juga narasumer terkenal bpk Dail Ma’ruf, MP.d dan narasumber  bpk Miftahul Hadi, S.Pd.

Duo dari sekian pegiat literasi ini membawakan acara dengan sangat bermakna bagi kami yang selalu haus akan ilmu baru.

Narasumber memulai materinya dengan menjelaskan bahwa pantun adalah salah satu budaya betawi yang kini mulai berkembang dan sangat diminati berbagai kalangan.

Dunia entertainmentpun sering menampilkan tayangan yang berbaur pantun yang tujuannya untuk menghibur penonton. 

Pantun menurut Renward Branstetter (Suseno, 2006; Setyadiharja, 2018; Setyadiharja, 2020) berasal dari kata “Pan” yang merujuk pada sifat sopan. Dan kata “Tun” yang merujuk pada sifat santun. Kata “Tun” dapat diartikan juga sebagai pepatah dan peribahasa (Hussain, 2019).

Pantun berasal dari akar kata “TUN” yang bermakna “baris” atau “deret”. Asal kata Pantun dalam masyarakat Melayu-Minangkabau diartikan sebagai “Panutun”, oleh masyarakat Riau disebut dengan “Tunjuk Ajar” yang berkaitan dengan etika (Mu’jizah, 2019). 

Ada banyak manfaat pantun, selain sebagai alat komunikasi sehari-hari pada zaman dahulu, pantun juga melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar.

Pantun bisa digunakan untuk mengawali sambutan pidato. Bisa juga untuk lirik lagu, perkenalan, ataupun dakwah bisa juga disisipi pantun.

Pak Miftahul menjelaskan bahwa satu bait pantun terdiri dari empat baris lalu, satu baris itu idealnya terdiri atas empat sampai lima kata, Kemudian, satu baris pantun terdiri atas delapan sampai dua belas suku kata.

Lanjut narasumber menjelaskan bahwa baris pertama dan kedua disebut sampiran, Baris ketiga dan keempat disebut isi.

Pantun dan sajak hampir sama, namun bedanya di akhiran a,b, ab,.  pantun bisa menggunakan akhiran a, a, a, a, seperti sajak, namun akan mengurangi keindahan pantun itu sendiri.

Untuk lebih jelas, narasumber memberikan perbedaan syair, gurindam dengan karmina.

Contoh syair :

Inilah kisah bermula kawan

Tentang negeri elok rupawan

Menjadi rebutan haparan jajahan

Hidup mati pahlawan memperjuangkan

Engkau telah mafhum kawan

Penggenggam bambu runcing ditangan

Pemeluk tetes darah penghabisan

Syahdan, Tuhan karuniai kemerdekaan.

 

Pemateri meminta peserta untuk memberikan pendapat tentang pantun dan beberapa peserta memberika jawabannya:

“pantun adalah jenis puisi lama”

“akhir kata yang teratur dan bernilai seni  tinggi”,

“susunan kata berakhiran a,b, ab”

“Memiliki empat baris dan sering disampaikan saat membuka atau menutup sambutan”.

Contoh gurindam :

Jika rajin salat sedekah,

Allah akan tambahkan berkah.

Pantun biasanya identik dengan suku bangsa Melayu atau Betawi, tetapi setiap daerah memiliki pantun. Di Tapanuli, pantun dikenal dengan istilah ende-ende (Suseno, 2006).

Berikut contoh pantun dari Pak Mifthaul :

Molo mandurung ho dipabu,

Tampul si mardulang-dulang,

Molo malungun ho diahu,

Tatap siru mondang bulan.

Artinya :

Jika tuan mencari paku,

Petiklah daun sidulang-dulang,

Jika tuan rindukan daku,

Pandanglah sang bulan purnama.

Tak mau kalah, moderator memberikan pantun :

Elok rupanya pohon belimbing          Tumbuh dekat pohon mangga          Enak rasanya berbini sumbing         Meskipun marah ketawa juga.

Di Sunda, pantun dikenal dengan istilah paparikan (Suseno, 2006)

Contoh :

Sing getol nginum jajamu,

Ambeh jadi kuat urat,

Sing getol maengan ilmu,

Gunana Dunya akhirat.

Artinya :

Rajinlah minum jamu,

Agar kuatlah urat,

Rajinlah tuntut ilmu,

Bagi dunia akhirat.

Di Jawa, pantun dikenal dengan istilah parikan (Suseno, 2006)

Contoh :

Kabeh-kabeh Gelung konde,

Kang Endi kang Gelung Jawa,

Kabeh-kabeh ana kang duwe,

Kang Endi kang durung ana.

Artinya :

Semua bergelung konde,

Manakah si Gelung Jawa,

Semua sudah ada yang punya,

Siapakah yang belum punya.

Narasumber mengatakan bahwa Pantun diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak benda  pada sesi ke-15 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kantor Pusat UNESCO di Paris, Prancis (17/12/2020). 

Bukankah hal ini membanggakan?, saya harap tiap daerah bisa gencar membuat pantun, khususnya pantun jenaka.

Yuk, kita lestarikan budaya kita dan viralkan pantun di setiap daerah.

Salam Literasi 

This post was published on %s = human-readable time difference 10:49 am

Delyana Tonapa

I am Delyana

Published by
Delyana Tonapa

Recent Posts

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 3.2 Pemimpin Dalam Pengelolaan Sumber Daya

Salam Guru Hebat Indonesia. Pada kesempatan ini, saya akan menulis mengenai Jurnal Refleksi Dwi Mingguan…

6 November 2024

Koneksi Antar Materi Modul 3.2 Pengelolaan Sumber Daya

Salam dan bahagia bagi kita semua. Kembali lagi saya menuliskan tugas saya koneksi antar materi…

4 November 2024

Koneksi Antar Materi Modul 3.1

Membuat keputusan, seorang pendidik harus mengutamakan kepentingan siswa berdasarkan nilai-nilai kebajikan. Keputusan yang diambil mencerminkan…

24 Oktober 2024

Tugas Demonstrasi Kontekstual Modul 3.1 Pengambilan Keputusan

Salam hangat bagi kita semuanya. Kali ini, saya akan menampilkan hasil wawancara saya dan hasil…

22 Oktober 2024

Jurnal Refleksi Dwi Mingguan Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik

Salam Bahagia bagi kita semua. Saya Delyana Tonapa, Calon Guru Penggerak Angkatan 11 Kota Jayapura.…

6 Oktober 2024

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

  Tak terasa, saya dan CGP angkatan 11 telah sampai pada modul 2.3 Coaching untuk…

6 Oktober 2024