Tugas CGP Angkatan 11

Koneksi Antar Materi Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

 

Tak terasa, saya dan CGP angkatan 11 telah sampai pada modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik. Pada modul 2.1, saya belajar tentang pembelajaran berdiferensiasi yaitu pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa  berdasarkan 3 aspek, yaitu minat belajar, kesiapan belajar, dan profil belajar siswa.

Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru mendesain pembelajaran berdasarkan kebutuhan belajar siswa, yang tujuannya untuk mengangkat potensi siswa dan dikembangkan secara optimal. Pemahaman ini sesuai dengan praktik coaching. Sebagai seorang coach harus mampu mengoptimalkan potensi coachee (siswa/guru) untuk menemukan solusi dari permasalahan menggunakan alur TIRTA, mendengarkan dengan RASA dan kompetensi coaching yang sudah dimiliki oleh coach.

Pada modul 2.2 saya belajar tentang pembelajaran sosial dan emosional, yaitu pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah, agar memiliki kompetensi sosial emosional seperti kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.

Dalam pembelajaran sosial dan emosional terdapat teknik STOP dan mindfulness yang dilakukan untuk membuat suasana kondusif. Sebagai seorang coach harus paham betul atau lebih peka terhadap kondisi dan situasi sebelum atau ketika proses coaching berlangsung yang tujuanya agar KBM berjalan dengan lancar dan sesuai tujuan, kemudian melalui kompetensi sosial emosional (KSE) yang baik, coach dapat terhindar dari memberi asumsi, memberi label/judge atau memotong pembicaraan coacheenya. Hal yang sama bagi coachee yang memiliki KSE yang baik yaitu dapat mengambil keputusan yang benar dan komitmen kuat dalam menindaklanjuti Solusi yang dibuat berdasarkan pertanyaan coach.

Setelah mempelajari modul 2.3, saya mengingat kembali kegiatan supervisi/observasi bersama kepala sekolah dan guru pamong yang akhirnya saya mengerti bahwa langkah-langkah yang mereka lakukan mulai dari kegiatan pra observasi sampai pasca observasi menggunakan paradigma dan prinsip coaching. Berdasarkan pengalaman tersebut saya menjadi paham dan merasa optimis dalam menerapkan coaching saat melaksanakan supervisi akademik dengan rekan sejawat maupun pendampingan dengan siswa.

Hal yang sudah berjalan dengan baik selama proses belajar adalah kami sesame CGP saling mendukung satu sama lainnya  saat melakukan coaching, baik dalam ruang kolaborasi maupun diskusi di luar jadwal untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam penerapan TIRTA, Prinsip Coaching, dan mendengarkan dengan RASA.

Kemudian dalam tugas demonstrasi kontekstual secara bergantian melaksanakan praktik coaching secara triad atau berganti peran sebagai supervisor, coach maupun coachee yang dilaksanakan di sekolah tempat saya mengajar dan saat melakukan perekaman, kami menggunakan ruang kepala sekolah sebagai pilihan akhir, agar aman dari gangguan. Kemudian masukan dan saran perbaikan dari fasilitator dan pengajar praktik yang membangun, membuat saya semakin percaya diri dalam melakukan praktik coaching.

Hal yang perlu saya perbaiki terkait dengan keterlibatan dalam proses belajar, yaitu saat saya berperan sebagai coach, terkadang secara tidak sadar memberi pandangan pribadi, mengaitkan dengan pengalaman pribadi, atau mengarahkan coachee dalam menemukan solusinya padahal tindakan tersebut harus dihindari saat melakukan coaching.

Emosi-emosi yang saya rasakan terkait pengalaman belajar yaitu terkadang saya ingin memberikan pertanyaan berbobot, namun saya merasa kurang yakin dengan pertanyaan tersebut yang membuat saya merasa geregetan. Hal ini terjadi, karena saya merasa coaching merupakan hal yang baru saya dalami, jadi wajar saja jika saya masih merasa lucu, kwatir bahkan senyum-senyum sendiri.

Adapun keterkaitan terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi setelah mempelajari modul 2.3 yaitu saya mampu meningkatkan kompetensi coaching dengan menggunakan alur TIRTA dan mendengarkan dengan RASA. Berdiskusi dengan orang lain merupakan hal yang diluar biasa, karena saya suka berdiskusi hal yang berbobot, namun bagaimana pun juga, saya merasa masih perlu mengali lagi potensi saya untuk bisa membuat pertanyaan yang berbobot dan mudah difahami oleh coahee.

Alasan guru harus mampu menjadi coach yang baik?

Filosofi Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa tugas seorang guru adalah menuntun siswa sesuai dengan kodratnya untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Kata “Menuntun” disini sesuai dengan sistem among, yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Senada dengan sistem among, dalam prinsip coaching guru memberikan tuntunan ke siswa, agar mereka tidak kehilangan arah dan menuntun mereka untuk menemukan potensi dirinya.

Proses coaching dengan alur TIRTA dan mendengarkan dengan RASA dapat dijadikan pedoman dan arahan oleh coach dalam memfasilitasi coachee untuk menyampaikan tujuan yang ingin didapatkan dari coaching, serta mengidentifikasi permasalahan sampai menemukan rencana untuk solusi dari permasalahan tersebut. Melalui alur TIRTA coachee terlatih untuk berpikir terarah dan sistematis mulai dari apa yang ingin dicapai hingga menemukan Solusi untuk mencapai tujuan.

Tantangan dalam penerapan praktik coaching sesuai dengan konteks asal sekolah saya yaitu, ketika rekan sejawat/siswa masih enggan bercerita masalah atau hal yang dialaminya. Hal ini terjadi karena belum terjalin kedekatan sebagai mitra dalam proses coaching, sehingga coachee menjadi kesulitan dalam menemukan atau menentukan tujuan yang ingin dicapai.

Adapun alternatif solusi terhadap tantangan tersebut, yaitu sebelum melakukan coaching, coach tentu harus membuat suasana diskusi atau obrolan berlangsung hangat dan cair. Kemudian menjelaskan bahwa dalam proses coaching, coach dan coachee kedudukannya setara, tidak bermaksud menggurui ataupun menjadi seorang mentor.

Kemudian coachee harus diberikan pemahaman dan menyusun terlebih dahulu tujuan coaching dilaksanakan serta coachee benar-benar ingin menemukan langkah-langkah perbaikan dari permasalahan yang dihadapi. Guru secara mandiri meningkatkan kemampuan komunikasi efektif bagaimana memberikan umpan balik dan pertanyaan terbuka yang berbobot sehingga mampu memfasilitasi coachee untuk menggali solusi.

Kegiatan supervisi akademik di masa lalu merupakan kegiatan yang menegangkan dan kurang berdampak bagi peningkatan kompetensi yang saya miliki, karena setelah proses supervisi tidak terjadi dialog dua arah atau kesannya seperti dihakimi atau disidang ketika mendengarkan umpan balik. Berbeda dengan kegiatan supervisi akademik atau observasi pembelajaran saat ini, khususnya setelah diterapkannya penilaian kinerja melalui aplikasi PMM.

Saya harap kedepannya penerapan alur TIRTA dan ,mendengarkan dengan RASA bisa diterapkan dengan baik, sehingga tidak ada lagi perasaan tidak nyaman setelah melakukan observasi.

Adapun sumber belajar atau informasi lain di luar modul PGP untuk menguatkan praktik coaching maupun supervisi akademik, dapat dilakukan dengan berdiskusi dan sharing pengalaman dengan kepala sekolah saat pelaksanaan supervisi. Kemudian juga berdiskusi dengan rekan CGP, Fasilitator dan Pengajar Praktik serta membaca artikel dan menonton praktik baik dari rekan-rekan CGP angkatan sebelumnya terkait proses/pelaksanaan coaching untuk supervisi akademik.

Baca Juga :

 

Delyana Tonapa

I am Delyana