Refleksi Dwi-Mingguan Modul 1.1
Saya Delyana Tonapa. Guru SMK NEGERI 3 TEKNOLOGI DAN REKAYASA JAYAPURA atau dulu di kenal STM KOTARAJA. Saya mengabdi di sekolah ini kurang lebih 16 tahun.
Saya memiliki banyak pengalam dalam hal mengajar. Sebelum saya mengajar di STM Kotaraja, saya pernah mengajar kursus sambil kuliah di kampung halaman selama hampir kurang lebih 3 tahun. Dari pengalam ini saya memiliki banyak cerita yang saya rasa pantas untuk saya bagikan sebagai refleksi dwi-mingguan modul 1.
Saat saya kuliah, saya hampir tidak pernah mendengar pemikiran filosopi Ki Hadjar Dewantara (KHD), atau mungkin saya yang lupa, tetapi sepertinya demikian. Saya lebih sering mendengar, membaca pemikiran Pendidikan dari berbagai ahli yang memang hingga kini masih digunakan seperti Benjamin Bloom yang dikenal dengan taksonomi bloom.
Psikologi Pendidikan ini sangat terkenal dengan level kognitive C1 – C6, atau dengan kata lain, pemikiran beliau fokus akan kemampuan kognitif bidang penyusunan kurikulum, aplikasi bidang instruksi pengajaran, aplikasi bidang assesment/ penilaian.
Menurut saya pemikiran beliau sangat bermanfaat, namun berdasarkan hasil pengalaman saya mengajar, sebenarnya ada hal yang harus diprioritaskan di zaman ini, bukan lagi mengutakankan bagaimana cara membuat siswa berfikir logis, kritis, namun bagaimana cara membuat menyentuh hati siswa. Bagaimana bisa membuat siswa berfikir kritis (pintar) jika mereka tidak berdamai dengan diri mereka?, atau tidak mengenal jati diri mereka?.
Tak bisa dipungkiri bahwa zaman dulu dan sekarang sangat berbeda, begitupun siswa. Banyak diantara tenaga pendidik pun berfikir demikian, dimana siswa zaman sekarang cendrung melawan, memberontak, namun pintar karena mereka bisa belajar secara otodidak melalui berbagai aplikasi dan media.
Hal ini yang terkadang membuat saya berfikir, mengapa anak sekarang tidak lebih hebat dari anak zaman dulu, yah? Apa yang salah?. Jika berfikir teknologi, zaman sekarang lebih canggih. Jika berfikir tentang makanan atau gizi, zaman sekarang lebih lengkap, jauh dengan zaman saya dulu saat berusia seperti mereka.
Oleh karena itu, saya dan rekan kerja sering berupaya untuk menemukan kunci yang tepat untuk mencari tau cara yang tepat untuk meningkatkan minat belajar siswa di kelas, melalui membuat modul ajar, alat peraga, menganti suasana belajar bahkan memotivasi siswa.
Jujur, hal itu belum begitu nampak, walau hasilnya ada, namun tidak seberapa. Buktinya adalah siswa masih terus melakukan perlawanan, jarang ikut belajar di kelas, tidak disiplin dan lain-lain. Sehingga hal ini mempengarui tingkat emosi saya yang merasa ada yang salah dengan diri saya, ada yang kurang dari diri saya, sehingga saya merasa kurang profesional sebagai tenaga pendidik.
Beruntung, semuannya berubah, tepatnya sekitar tahun 2022/2023 saat kurikulum merdeka mulai diimplementasikan di sekolah kami, dan hadirnya Platform Merdeka Mengajar (PMM), otak saya mulai terbuka, atau dengan kata lain, saya terbangun seperti tersiram air paling dingin yang belum pernah saya rasakan di dunia ini.
Awalnya saya berfikir, KHD mengeluarkan ide dan tulisannya berdasarkan situasi saat penjajahan belanda, yang mana menurut saya ide beliau tidak nyambung dengan perkembangan zaman sekarang. Namun setelah saya mengikuti pelatihan topik berbeda di PMM, saya semakin sadar bahwa pemikiran pondasi pendidikan yang cocok bagi anak bangsa Indonesia ada di pemikiran filosifi KHD.
Dari situlah saya mulai memperbaiki diri saya, memperbaiki cara mengajar saya yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, afektif dan psikomotorik saja, namun juga harus memperhatikan kodrat siswa.
Juga, saya baru sadar bahwa tugas guru itu menuntun, bukan mengubah. Saya salah.
Pantas saja, saat saya memberikan masukan dan motivasi pada siswa, mereka kerab mengulang kesalahan yang sama, padahal saat berdiskusi mereka berjanji untuk berubah, tapi kenyataannya tidak.
Dari pemikiran KHD beserta jargoannya membuat saya semakin tersadar bahwa mengenal siswa lebih dalam adalah cara terbaik untuk bisa memposisikan diri dalam mengajar. Bagaimana saya bisa mengajar mereka sementara saya tidak tau latar belakang mereka?. Saya fikir, ini adalah salah satu kendala yang membuat saya kurang berhasil mendidik siswa saya sebelum saya mengetahui pemikiran KHD.
Yang menyenangkan adalah, saat saya mengetahui perubahan siswa setelah saya berupaya mengimplemtasikan pemikiran KHD, saya tidak terlalu susah dalam mengelaborasikan materi, namun tentu belum begitu sempurna, karena jumlah siswa kami banyak dan harus merata.
Hal serupa juga disampaikan oleh salah seorang rekan saya bahwa ternyata guru tak perlu terlalu banyak berkoar jika siswa melakukan pelanggaran, cukup dengan melakukan komunikasi dan bimbingan responsif tanpa harus ada amarah atau hukuman fisik yang mana hal-hal demikian membuat siswa semakin melawan.
Sungguh luar biasa pemikiran filosifis pendidikan ini, belaiu mampu membuat guru sadar akan tugas utamannya, tanpa harus memaksakan siswa tau atau menguasai semua materi, namun memunculkan emas atau talenta yang ada dalam diri siswa.
Oleh karena itu, saya berterima kasih kepada BGP Papua yang telah meloloskan saya mengikuti pendidikan calon guru pengerak. Ini adalah jalan saya untuk semakin mengerti tujuan dari pendidikan dan pengajaran di kelas yang sesungguhnya. Semoga ke depan, kami terus diberikan ilmu atau dibukakan pemikiran lagi, agar kedepannya, kami semakin mengerti akan tugas kami sebagai pendidik ayng hebat.