Seperti Apa Rasanya Dimarahi Guru, Karena Melakukan Kesalahan Fatal?
Seorang siswa pernah berkata “mam, sebenarnya kalau dimarah Guru tuh, rasanya sedap-sedap gurih”.
Dengan heran saya bertanya “Kenapa bisa begitu?, bukankah dimarah itu rasanya tidak?”.
Dia menjawab “Sedap gurih mam, karena habis dimarah biasanya diajak ngobrol lagi sama Guru”.
Dengan sedikit kesal saya merespon “lalu, kamu masih mau dimarahi Guru?”.
“Tidak to mam? bilang saja ini, tapi bagaimana e begitu kalau dapa marah dari Guru, macam tra enak di hati mam, cuman ya, saya juga salah jadi”.
Mungkin hal ini pernah dirasakan oleh siswa (i) dan otomatis pernah dilakukan oleh Guru.
Siswa kerab membuat gerakan tambahan yang memancing Guru untuk bertindak terhadap sikap siswa yang berlebihan.
Begitu juga, dengan tekun Guru melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik, namun tak jarang dipancing oleh siswa untuk Guru bertindak tegas.
Proses kegiatan belajar di sekolah kerab diwarnai dengan argumentasi yang awalnya membuat Guru marah, namun dilanjutkan dengan canda tawa yang begitu berwarna.
Hal ini tak jarang membuat sekolah seperti taman atau kebun yang penuh dengan warna-warni.
Memang, tak akan mungkin tak akan pernah ada moment dimana Guru dan siswa saling berargumentasi, namun tentunya semuanya itu adalah bumbu untuk memberikan kesan yang berbeda sebagai siswa dan sebagai tenaga pengajar.
Siswa adalah siswa yang tak luput dari proses pembentukan sikap yang berasal dari pertumbuhan mereka.
Mereka masih mencari jati diri sebagai bentuk pembentukan karakter yang utuh.
Guru adalah sosok yang selalu dihadapkan dengan rutinitas menghadapai karakter siswa (i) yang berbeda-beda.
Dimana sikap profesional dalam menjalankan tugas sebagai pengajar harus diutamakan.
Menindak lanjuti kekeliruan yang dilakukan siswa (i) akan berbeda, yang semuanya berdasarkan tingkat level sikap siswa yang berlebihan atau tidak.
Hal seperti ini yang terkadang membuat Guru harus menarik urat leher untuk mengingatkan siswa (i) bahwa tindakan mereka salah dan sangat berlebihan.
Namun tak jarang siswa (i) tak menghiraukan Guru malah terkadang semakin menjadi-jadi.
Hal yang sering dilakukan Guru adalah mengambil tindakan sesuai prosedur, yaitu melalui wali kelas, guru bimbingan konseling (BK) hingga pemangilan Orangtua atau Orangtua wali.
Tetapi pernahkan terfikirkan akan kesan yang dirasakan siswa yang pernah dimarahi oleh Guru dan perasaan Guru pernah memarahi siswa?.
Berbicara tentang perasan tentu akan berbeda hasilnya, hal ini disebabkan oleh tingkat emosi yang dimiliki oleh setiap individu, dalam hal ini siswa dan Guru.
“Apakah kesan itu akan diingat selamanya?”.
Pertanyaan ini muncul setelah saya membaca sebuah buku tentang “momentum yang tak terlupakan”.
Banyak hal yang tak bisa dilupakan, baik tentang hal yang menyenangkan, menyedihkan dan mengecewakan.
Jika mengaitkan ini dengan masalah yang muncul di lingkungan sekolah, terlebih khusus tentang pelanggaran yang dilakukan siswa (i) dan tindakan yang dilakukan Guru tentu akan berbeda.
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa tingkat emosi setiap individu berbeda. Ada yang memiliki perasaan yang lembut dan sebaliknya.
Ada yang senang membuat kegaduhan, namun tak suka teguran, ada yang sering membuat tingkah, namun sadar akan kesalahannya jika diingatkan dan lain-lain.
Namun yang tak bisa terabaikan adalah waktu, waktu dimana suatu saat pada saat seseorang menemui masalah yang hampir sama dengan kejadian dimana seseorang mengalami kekecewaan akan teguran, nasehat bahkan amarah, seseorang tersebut akan menyadari dan bahkan bersyukur telah mendapatkan peringatan akan kekeliruan yang telah dilakukan dulu.
Hal yang dilakukan Guru saat ini adalah tetap menjadi Guru sejati dan siswa tetap belajar.
Belajar tidak hanya di kelas, atau tidak dari materi atau pelajaran yang diajar oleh Bapak/ibu Guru, namun segala sesuatu yang ada di sekitar kita, baik itu yang dilihat, didengar, dialami bisa dipelajari.
Baca Juga :
Jangan lupa kunjungi Del Channel Ok untuk melihat penjelasan materi bahasa Inggris.