Tak Seharusnya Tekanan Publik Dapat Mempengaruhi Keputusan
“Berhentilah mengkhawatirkan orang tentangmu”.
Saya baru saja mengambil salah satu quote atau kutipan yang sering muncul di media sosial saya.
Sejak masa demokrasi, perbaharuan dalam berpendapat semakin tak terkendalikan. Jika bertanya, apakah ini benar atau salah, tentu hal ini benar dan berlaku pada zaman sekarang ini.
Ada beberapa kasus besar di negara ini yang keputusannya dipengaruhi oleh suara rakyat, baik dalam bidang sosial maupun dalam bidang politik.
Di sini, saya tidak sedang ingin mengatakan keputusan tersebut benar atau salah, karena the power of media social sangat berpengaruh. Sebenarnya ini juga baik, karena masyarakat tidak perlu lagi turun ke jalan-jalan untuk menyuarakan pendapatnya.
Jika kita berkaca dengan aksi demo turun jalan sebelumnya, dampaknya begitu nyata, dimana terdapat perusakan fasilitas umum dan parahnya telah merugikan pendemo itu sendiri.
Dii sini saya ingin meng-underline bahwa apakah tekanan publik akan selamanya mempengaruhi keputusan ke depan?.
Dalam hal ini bukan tentang kebijakan pemerintah saja, akan tetapi tentang pelanggaran yang dilakukan oleh seorang publik figure seperti artis dan politisi.
Jika merujuk pada peraturan UU, seharusnya keputusan harus berdasarkan UU, tetapi jika keputusan seolah dipaksakan agar sesuai dengan UU, maka dimanakah manfaat dan esensi UU tersebut?.
Mari kita melihat siapa saja pengguna media sosial yang sering menghabiskan waktu untuk selalu memberikan komen akan setiap masalah yang muncul.
- Orang Yang Berpendidikan. Orang berpendidikan yang dimaksud tidak hanya bagi mereka yang mengenyam pendidikan hingga bergelar tinggi, namun maksudnya adalah mereka yang lebih sering berfikir, mengamati dan menganalisa sebuah kasus dengan baik lalu memberikan komentar. Tak sedikit pembaca suka membaca setengah dari sebuah berita, lalu menyimpulkannya dengan kalimat yang aneh. Mari kita sadar bahwa minat baca kita kurang, jadi hendaknya setiap berita dibaca baik lalu dikomentari.
- Orang Yang Tak Bersekolah. Maksudnya adalah, siapa saja bisa memiliki akun media sosial, namun tak jarang orang yang tak mengerti inti masalah akan berita viral malah memperkeruh masalah dengan memberikan pendapat yang sebenarnya dia tidak ketahui dengan jelas. Jika dikatakan bahwa banyak Nitizen yang bodoh, tentu terlalu jauh, namun saya teringat akan salah seorang artis mengatakan ‘hendaknya gunakan otak sebelum jari digerakkan untuk menulis komentar’.
- Siluman. Maksudnya adalah seseorang yang memiliki banyak akun, yang biasanya akun tersebut digunakan untuk mendudukng orang tertentu agar mendapatkan suara masyarakat, entah orang yang didukung benar atau salah. Dengan perkembangan teknologi, kejahatan tidak lagi seperti dahulu yang dimana jasa untuk melakukan tindakan penekanan kepada orang lain dilakuka secara lansgung, namun kini telah banyak digunakan melalui akun media sosial. Dengan melakukan pembayaran kepada orang tertentu maka pemilik akun tersebut dapat menyuarakan pendapatnya dengan berbagai macam gaya bahasa. Hal ini bisa dikatakan sebagai pembela di media sosial. Kita bisa buktikan dengan banyak akun fake yang tidak jelas.
Kedepannya, hendaknya para pengambil keputusan tidak serta merta memaksakan hasil putusan berdasarkan suara rakyat atau memaksakan diri mencari UU untuk mencocokan keputusan berdasarkan suara rakyat, alasannya yang sudah saya jabarkan di atas.
Lepas dari itu adalah rasa pilih kasih, ras, suku, agama di negara kita masih kental, maka pengambil kebijakan harus lebih faham akan arti sebuah keputusan yang tepat dan tidak membawa duri dalam daging suatu saat nanti.
Fokuslah akan keadilan yang akan membuat diri pengambil keputusan selalu merasa damai sejahtera selamanya.