Kelompok Intelektual Mengedepankan Logika Dari Pada Emosi
“Mace sumbu pendek, kaka itu cuman salah ambil tas langsung mace main maki”,
“Bapak itu, sarjana tapi kayak tidak sekolah”,
“si ibu yang duduk di sebelah sana, bukan lulusan sarjana, tapi kayak lulusan master, pintar dan bijak orangnya”,
“Anak itu kayak tidak sekolah, disulut api sedikit langsung tabakar“,
“Pace Wily memang andalan, dihina orang, tapi dia tidak terlalu ambil hati, mungkin dia tau kalau mereka bukan lawan yang se-level dengan dia, pace dia jago handle emosi, dia pu logika yang main”,
“sa akui anak itu, logika lebih sering dia gunakan, salut”.
Ini adalah sepenggal isi hati atau curhatan beberapa orang saat menilai orang yang terlihat educated man dan tidak.
Terlihat orang yang berpendidikan memang tidak menghasilkan keuntungan yang instan, beberapa orang yang tidak terlihat baik biasanya mengatakan “epen kah” yang artinya tidak perduli jika dinilai bukan orang yang berpendidikan.
Namun, pernakah setiap orang berfikir bahwa semua orang butuh dihargai akan usaha dan kerja kerasnya?.
Hal ini ada hubungannya dengan cerita yang saya alami beberapa waktu lalu. Saat itu saya sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah pasar terdekat.
Di perjalanan, saya melihat seorang bapak setengah baya sedang di marahi oleh seorang anak muda. Saya bisa mendengar perdebatan mereka, karena jalanan menuju ke pasar sedang macet.
Saya tidak tau pasti, anak muda itu sedang mabuk atau tidak. Yang jelas inti permasalahannya adalah bapak tersebut tidak sengaja menyenggol motor si anak muda itu.
Sang bapak sudah minta maaf, siap bertanggung jawab dan menjelaskan bahwa kendaraan roda empat di sebelah kanannya tadi mendahuluinya dengan agak kencang, dia ingin menghindar, namun terlanjur menyenggolnya.
Anak muda tersebut tidak perduli dan terus menerus memarahi sang bapak dengan muka yang begitu murka dan suara yang begitu keras.
Sang bapak terlihat santai dengan prilaku anak muda itu. Ekspresi keduanya seolah sama dengan sebuah lukisan yang pernah saya lihat di salah satu media sosial.
Pada lukisan tersebut terlihat seorang berbicara dengan mulut terbuka lebar (seolah-olah marah) dan gambar kepalanya kosong. Pada sosok figur yang satunya seorang terlihat santai menaggapi lawan bicaranya yang terlihat marah, namun di kepalanya terisi banyak buku-buku.
Jika diamati, gambar atau lukisan tersebut adalah ilustrasi tentang orang bodoh dan orang pintar atau bijak.
Sama dengan kejadian yang saya lihat, dimana orang yang mengutamakan emosi terlihat bodoh, namun orang yang pintar dan bijak terlihat elegan saat menghadapi masalah.
Saya tidak mengatakan bahwa anak muda cenderung kurang berpengalaman dalam menghadapi masalah dan sebaliknya, orangtua tau menghandle masalah.
Ini tentang kemampuan menggunakan akal atau logika dalam mengontrol emosi.
Well, tak bisa dipungkiri bahwa zaman sekarang, tak jarang orang menggunakan cara emosi untuk menakuti lawan, dengan anggapan mampu memarahi orang akan terlihat hebat.
Itu pemikiran orang tertentu saja, namun orang intelektual tentu akan mengganggap bahwa orang yang menonjolkan sifat emosi adalah orang yang memiliki kemampuan jauh di bawah mereka.
Orang pintar akan melakukan cara yang benar walau sekalipun sedang marah. Marah pada saat kecewa atau tersakiti, namun menggunakan akal untuk mengatasi masalahnya.
Contoh : jika pada saat itu si anak muda tersebut merasa tidak bisa menerima akan kejadian yang menimpanya, tetap tidak mau menerima akan alasan sang bapak, cukup membawa kasusnya ke jalur hukum. Bukankah hal ini lebih menguntungkan tanpa terlihat bodoh? Selesai.
Baca Juga :