GuruOrangtua Siswa

Disiplin Positif, Paksa Dulu Nanti Terbiasa, Bolehkah?

Pernahkah para Dels merasa dipaksa untuk melakukan aktivitas?, atau pernah memaksa anak atau siswa?.

Pernakah para Dels (moms n bpk/ibu guru, atau siapapun pelakunya) mengharuskan anak atau siswa menyukai sesuatu yang tidak disukai oleh anak/siswa?, contoh : “semua siswa wajib kursus belajar mandarin, juga wajib ikut les private di sekolah”.

“kamu harus kursus fisika dan kimia agar menjadi Astronot seperti kakek kamu!”, “setelah ini, kamu harus mengepel lantai, masak, lalu jagain adik kamu. Tidak boleh menonton dan apapun selain yang ibu perintahkan. Hal ini ibu lakukan, agar kamu terbiasa hidup mandiri kelak”.

Tak bisa dipungkiri, bahwa muara dari didikan Orangtua dan guru agar anak bisa menjadi hebat adalah mereka bisa melalui masa sulitnya, bisa memecahkan masalah dan lain-lain.

Juga, sering kali kita mendengar di masyarakan bahwa untuk menjadi kebiasaan harus dengan dipaksa terlebih dulu. Apakah benar demikian?

Untuk jangka pendek, memaksa sering berhasil, karena mungkin si anak/siswa merasa takut kena marah, kena hukuman, bahkan kena pukulan. Pernahkah para Dels memikirkan dampak jangka panjang yang tidak kita sadari?.

Sebelum lanjut, cobalah posisikan diri anda sebagai anak/siswa yang dipaksa. Contoh : dipaksa menjadi penyanyi, padahal itu bukan passion anda. Atau dipaksa menjadi penari tradisional, padahal anda hanya kagum akan tarian-tarian tersebut dan suka mempelajari sejarahnya.

Bagaimana perasaan anda?

Tak bisa diabaikan bahwa dalam keadaan tertentu, ada saja keadaan di mana seseorang terpaksa melakukan sesuatu yang dia tidak inginkan, namun demi alasan keluarga atau yang lainnya, dia harus menerima dan melakukannya.

Namun pernahkah anda berfikir akan akibatnya?

Sesuatu yang berasal dari kesadaran dari luar akan berbeda dengan kesadaran internal atau dari dalam (sesuai keinginan). Hal ini akan menimbulkan masalah baru seperti hilangnya ketertarikan atau bahkan munculnya antipati terhadap kegiatan yang akan dipaksakan.

Misalnya, anak/siswa tersebut akan merasa antipati terhadap seorang penyanyi atau penari, yang sebenarnya bukan karena musik, tetapi karena pemaksaan.

Yang perlu diketahui juga bahwa akibat pemaksaan bisa membuat kemerdekaan berekspresi dan potensi anak menjadi terbatas. Mungkin anak/siswa tersebut senang melukis atau main sepak bola, namun dibatasi atau mungkin dilarang, maka tentu hal ini tidak memerdekakan mereka yang bisa berdampak buruk.

Tindakan – tindakan di atas sangat bertolak belakang dengan disiplin dan prilaku yang diharapkan. Menurut Ki Hajar Dewantara menuliskan bahwa disiplin yang kuat adalah hal yang memerdekakan.

Dalam konteks pendidikan untuk menciptakan siswa yang merdeka diperlukan disiplin yang kuat, yaitu disiplin diri dan memiliki motivasi internal. Lanjut menurut Ki Hajar Dewantara”sesungguhnya disiplin itu bersifat ‘self discipline’ yaitu kita sendiri yang mewajibkan diri kita dengan sekeras-kerasnya tetapi itu sama saja, sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah pengusaha lain medisiplinkan kita”.

Cakap yang dimaksud di sini adalah cakap memerintah diri sendiri. Dengan mendisiplinkan diri, anak/siswa bisa menggali potensi diri mereka sesuai tujuan akhir atau cita-cita mereka.

Sebagai guru dan Orangtua siswa, sebaiknya menerapkan cara-cara yang tepat ketika meminta mereka melakukan sesuatu tanpa harus memaksa, dengan cara ;

  1. Mengajak atau mendorong anak/siswa melakukan kegiatan yang membuat mereka senang.
  2. Membantu mereka untuk menemukan inspirasinya
  3. Membuka ruang dialog dengan mereka.

Sekarang, mari kita refleksikan apa yang telah kita lakukan. Apakah kita cenderung memaksa anak/siswa patuhmengerjakan sesuatu?, atau membebaskan mereka memilih kegiatan yang mereka sukai. Kira-kira bagaimana hasil yang dipaksa dan tidak dipaksa.

Baca Juga :

  1. Apakah numerasi sama dengan pelajaran matematika?
  2. Tahun 2024, guru butuh vitamin lagi

Delyana Tonapa

I am Delyana