GuruOrangtua Siswa

Sistem Rangking Racun Dunia Pendidikan Dan Sekolah Bukan Tempat Berkompetisi?

Sumber Gambar : Pixabay.com

Sudah hampir sebulan, siswa (i)  dan Orangtua / Wali telah menerima dan melihat nilai akhir semester. Mungkin ada yang merasa puas akan pencapaian nilai selama satu semester atau mungkin ada yang merasa sebaliknya, karena nilai mengalami penurunan dan tidak sesuai dengan ekspektasi. Tetapi hal yang selalu ditunggu – tunggu oleh Orangtua/Wali siswa (i) adalah moment penerimaan raport siswa.

Moment dimana mereka melihat sejauh mana hasil usaha mereka dalam mendidik anak selama satu semester dan perubahan nilai apa yang anak mereka peroleh.

Pandangan Tentang Hasil Nilai Raport Siswa.

Nilai Raport adalah kumpulan nilai  mata pelajaran yang diampuh oleh siswa selama satu semester, dimana semua mata pelajaran yang dipelajari diujikan kembali, lalu hasil nilainya dituangkan di dalam satu buku yang disebut raport.

Raport ditulis atau diketik oleh wali kelas berdasarkan hasil rapat akhir semester dan telah disahkan oleh pimpinan sekolah dan para dewan Guru.

Tak sedikit para Orangtua siswa membanggakan nilai pencapaian anak mereka, dan tak jarang hasil tersebut diposting atau dishare kepada orang lain, atau dengan kata lain, hasil belajar siswa sudah menjadi prestige bagi Orangtua, sehingga dengan berbagai cara, anak mereka dituntut untuk selalu mendapat rangking atas.

Hal ini tidaklah salah. Jika dilihat dari segi emotional Orangtua yang ingin anak mereka menjadi lulusan yang kompetatif tentu sikap ini patut diacungkan jempol, namun jika nilai anak  hanya dijadikan sebagai pajangan dimana Orangtua ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat tentang pencapaian nilai, tentu  ini sangat keliru.

Baca Juga : 

Juara Tidak Menjamin Kesuksesan di Masa Mendatang

Fungsi Nilai Rapot.

Sama halnya dengan nilai yang diperoleh setelah melalui beberapa test atau ujian seperti ujian harian, mid-semester (UTS), Ujian Semester, Ujian Sekolah (UAS) dan Ujian Kejuruan bagi sekolah kejuruan.

Untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa menyerap materi yang telah diajarkan oleh Guru, maka nilai dijadikan sebagai tolak ukur keberhasilan, baik bagi siswa maupun Guru itu sendiri.

Jika mayoritas siswa mendapatkan nilai kurang atau dibawah Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), berarti ada yang salah dengan metode atau teknik mengajar Guru, kecuali  siswa (i) tidak mengikuti pelajaran dengan baik, karena berbagai macam alasan pribadi.

Dari hasil raport, maka akan dilakukan perubahan pada semester berikutnya, tergantung dari kekurangan apa yang membuat nilai siswa rendah, yang jelas nilai adalah tolak ukur penentu keberhasilan siswa dan Guru untuk menentukan langkah berikutnya.

Rangking Hanyalah Faktor Keberuntungan.

Seperti yang telah dibahas di atas bahwa tak sedikit para Orangtua pernah show up tentang hasil belajar anak mereka, namun yang kurang disadari bahwa hasil belajar anak saat ini bukan penentu utama keberhasilan anak.

Yah, memang dengan terlatihnya anak giat belajar sejak dini, besar kemungkinan anak akan memiliki bekal di masa mendatang, namun tak berhenti di situ saja, karena banyak faktor yang mendukung, termasuk ketekunan anak, bukan hanya kebanggaan pencapaian anak saat ini.

Sebenarnya, banyak anak yang sebenarnya mampu mendapatkan rangking, namun karena berbagai kendala membuat banyak anak mendapatkan nilai rendah, seperti karena faktor ekonomi yang membuat siswa terkadang tidak memiliki ongkos pergi sekolah dan membeli perlengkapan sekolah, faktor masalah keluarga yang membuat siswa tidak fokus belajar, dan berbagai faktor lainnya. Yang jelas, bukan karena bodoh, tetapi karena hanya kurang beruntung saja.

Apakah Perlu Berkompetisi Di Sekolah?

Sekolah adalah tempat menyiapkan mental siswa (i) untuk  siap berkompetisi di dunia nyata, baik dari segimental, maupun dari segi ilmu pengetahuan dan keterampilan. 

Apa jadinya jika Guru tidak menonjolkan jiwa berkompetisi kepada anak didik? lalu bagaimana mereka menghadapi dunia nyata yang penuh dengan persaingan seperti saat ini?.

Kita sering mendengar

siapa yang lambat dia di belakang, siapa yang kreatif dan inovatif, dia bertahan

Dari kalimat di atas, sangat jelas jika untuk bisa menjadi pribadi yang maju, siapa saja harus memiliki jiwa kompetitif. Dunia penuh persaingan dan tantangan, jadi jika tidak memperkenalkan hal demikian kepada siswa (i) lalu bagaimana mereka bisa bersaing suatu saat nanti? Mereka harus saling berkompetisi mendapatkan nilai yang minimal tidak di bawah KKM.

Orangtua / Wali Siswa (i) Perlu Menyadari.

Tak perlu kwatir dengan bagaimana cara pihak sekolah memprilakukan anak tentang berbagai hal termasuk kedisiplinan, ketekunan, kesiapan mental dan lain-lain.

Yang perlu dihindari adalah tentang pemikiran dulu bahwa nilai raport adalah kebanggaan yang perlu diumbar untuk mendapatkan pengakuan orang.

Zaman sekarang, yang dilihat adalah hasil, dimana setiap orang dituntut untuk bekerja, dan berhasil tanpa dipamer, karena proses untuk menghasilkan seorang yang sukses di masa mendatang jauh lebih sulit dibanding dengan nilai raport saat ini.

Berhentilah memandang sebelah mata akan pencapaian nilai rendah terhadap anak lain, karena nasib seseorang tidak ada yang tau.

Bukankah disekitar kita banyak orang yang berhasil (ekonomi) walau dahulu tidak mendapatkan rangking?.

Delyana Tonapa

I am Delyana